Home Nusantara Peristiwa Sekolah berkurikulum internasional gerus nasionalisme siswa?

Sekolah berkurikulum internasional gerus nasionalisme siswa?

0

sekolah-berkurikulum-internasional-gerus-nasionalisme-siswa

 

 

 

 

+

+

Ketidakpuasan terhadap sistem pendidikan di Indonesia semakin terlihat nyata. Kurikulum nasional yang dirancang pemerintah dianggap tak mampu meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia dan membawa Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia bersaing dengan negara-negara lain.

Masyarakat pun mulai mencari alternatif pendidikan yang dinilai mampu mencetak lulusan berkualitas dunia. Terlebih lagi, perhelatan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tahun 2015 sudah di depan mata. Tak sedikit orang tua yang rela merogoh kocek hingga puluhan bahkan ratusan juta rupiah untuk menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah berkualitas di luar negeri.

Beruntung mereka yang mampu memperoleh beasiswa, kesempatan mengecap pendidikan di luar negeri menjadi jauh lebih murah.

Menurut organisasi Ikatan Konsultan Pendidikan Internasional Indonesia, terdapat 50 ribu pelajar Indonesia yang belajar ke luar negeri pada 2012 dengan tren pertumbuhan sekira 20 persen setiap tahun.

Negara-negara yang menjadi tujuan favorit para pelajar Indonesia antara lain Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Jerman, Australia, Singapura, bahkan Malaysia yang dulu banyak mengirimkan siswanya belajar ke Indonesia.

Namun, sekolah-sekolah yang menerapkan kurikulum luar negeri pun tak mau kalah. Sekolah-sekolah internasional pun semakin diminati penduduk Indonesia utamanya kalangan menengah ke atas dan tinggal di kota-kota besar. Mereka bisa memilih sekolah internasional berbasis kurikulum Cambridge, International Baccalaureate (IB), atau kurikulum luar negeri yang diterapkan di sekolah tersebut.

Tentu saja, ada harga yang harus dibayar. Wali peserta didik harus rela mengeluarkan uang sekolah hingga ribuan dolar dalam setahun meski sekolah tersebut berada di Indonesia.

Penerapan kurikulum luar negeri, bahasa pengantar menggunakan Bahasa Inggris, dan pengajar asing menyebabkan kekhawatiran WNI yang bersekolah di sekolah-sekolah tersebut lupa identitasnya sebagai WNI.

Pengamat dan praktisi pendidikan Taman Siswa, Henry Alexis Rudolf (HAR) Tilaar mempertanyakan keberadaan sekolah-sekolah internasional tersebut.

“Memang sekolah-sekolah internasional itu dipertanyakan. Sejauh mana mereka menanamkan nilai-nilai nasionalisme, sejauh mana kita bisa mengontrol mereka kalau mereka menggunakan kurikulum asing,” kata HAR Tilaar kepada merdeka.com, Kamis (21/5).

Menurutnya, sekolah-sekolah tersebut hanya diperuntukkan bagi kalangan menengah ke atas. Hal ini, lanjut HAR sudah bertentangan Undang-Undang Dasar 1945 yang telah menegaskan bahwa hanya ada satu sistem pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan juga diarahkan bagi rakyat keseluruhan dengan perhatian utama pada rakyat yang tidak mampu.

“Mereka (sekolah-sekolah internasional) hanya untuk yang punya duit-kan. Ini bertentangan dengan UUD 45 yang menyebut pendidikan adalah hak segala bangsa. Ukuran apa yang mereka pakai? Cambridge misalnya, mereka kan menggunakan standar negara maju, jangan ukur sekolah itu untuk di tempat terpencil. Menteri yang baru ini akan menertibkan,” ungkapnya.

Kepala Bagian Peraturan Perundang-Undangan dan Hukum Kemendikbud, Khalid Fathoni mengatakan, semula sekolah-sekolah tersebut diperuntukkan bagi warga negara asing (WNA) yang tinggal di Indonesia. Sekolah-sekolah tersebut mulai muncul sekitar tahun 1975.

“Semula sekolah-sekolah internasional itu untuk memenuhi kebutuhan orang asing di Indonesia, awalnya tahun 75. Dalam perkembangannya, sekolah-sekolah tersebut menerima WNI,” ujar Khalid, Sabtu (23/5).

Khalid mengatakan, anak-anak Indonesia yang bersekolah di sekolah-sekolah internasional tersebut dikhawatirkan tidak mengenal budaya Indonesia. “WNI ini dikhawatirkan ‘tidak menjadi WNI’, misalnya tidak mendapatkan pendidikan yang menjadi identitas WNI. Pendidikan yang mencirikan WNI misalnya ikut UN, ada pendidikan agama,” ungkap Khalid.

Kementerian Pendidikan, saat ini dalam proses menertibkan sekolah-sekolah berlabel internasional. Melalui Permendikbud 31/2014 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan oleh Lembaga Pendidikan Asing dengan Lembaga Pendidikan Indonesia harus berbenah.

Mulai dari menghilangkan kata ‘internasional’ agar tidak disalahgunakan, hingga merancang pola akreditasi untuk sekolah-sekolah internasional. Nantinya, sekolah tersebut bisa menampung siswa WNI apabila sudah terakreditasi atau murni hanya menerima WNA apabila tidak berkenan untuk menjalani akreditasi.

“Tidak boleh menggunakan kata internasional karena takut nanti digunakan untuk hal-hal yang tidak baik. Sekolah bisa memilih jadi sekolah biasa atau jadi sekolah asing sama sekali (murni) tidak menerima WNI. Dia harus menentukan. Seperti salah satu sekolah Korea tidak mau akreditasi makanya dia hanya menerima warga negara Korea saja, ya silakan,” ungkap Khalid.

Terkait dengan sekolah internasional tidak mengajarkan nasionalisme, salah satu guru sekolah internasional Frida Dwiyanti mengatakan, sebenarnya standar pendidikan internasional bukan sekedar pendidikan yang menggunakan bahasa internasional. Bukan hanya pada kulitnya.

Menurut pengajar yang memulai karirnya sejak Juni 2007 ini, harusnya pendidikan internasional bukan hanya mempromosikan penggunaan bahasa asing. “Pendidikan internasional harus dimaknai dengan pendidikan yang menjadikan anak didiknya berpikir secara terbuka dan internasional, open and international minded. International minded di mana di dalamnya para anak didiknya kelak akan menjadi manusia yang ‘berwarga negara internasional’ atau istilahnya sebagai global citizen. Jadi pendidikan internasional bukan sekedar kulit belaka, namun lebih pada esensi yang terletak di dalamnya, dalam pembelajarannya,” jelas Frida.

Dalam pendidikan internasional, lanjut Frida, kurikulum yang diterapkan boleh-boleh saja kurikulum nasional, tetapi di dalamnya disisipkan pendidikan untuk ber-internasional. Artinya, lanjut Frida, anak didik dijejali dengan pendidikan hidup dalam suasana damai di dunia, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, diberikan makna perdamaian internasional, dan arah kehidupan yang lebih baik. “Bentuk pendidikan semacam ini bukan dalam tingkat pendidikan teori, namun harus diterapkan secara nyata,” imbuh Frida.

 

 

+

http://www.merdeka.com/peristiwa/sekolah-berkurikulum-internasional-gerus-nasionalisme-siswa-splitnews-3.html