Jakarta — Dalam dinamika politik internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP), salah satu peristiwa yang menyita perhatian adalah pembatalan Musyawarah Wilayah Luar Biasa (Muswilub) yang dilakukan oleh Mahkamah Partai PPP. Ironisnya, pembatalan tersebut tidak melalui mekanisme persidangan sebagaimana seharusnya, melainkan hanya berdasarkan sebuah “legal opinion”. Langkah ini jelas keliru, menyalahi aturan main organisasi, dan menyesatkan pemahaman hukum kader partai serta publik.

 

Mahkamah Partai Bukan Konsultan, Tapi Lembaga Yudikatif

 

Dalam sistem hukum Indonesia, khususnya melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, ditegaskan bahwa Mahkamah Partai adalah organ penyelesaian sengketa internal partai yang bersifat yudikatif. Artinya, ia bertindak layaknya pengadilan internal yang harus menyelesaikan konflik melalui proses yang adil, terbuka, dan berdasarkan pembuktian dari para pihak yang bersengketa.

 

Namun dalam kasus pembatalan Muswilub PPP ini, Mahkamah Partai justru melewati seluruh prosedur tersebut. Tidak ada pendaftaran sengketa resmi, tidak ada pemanggilan para pihak, tidak ada pemeriksaan alat bukti, dan tidak ada persidangan. Yang terjadi hanyalah keluarnya sebuah legal opinion, seolah-olah itu adalah “fatwa sakti” yang mampu membatalkan keputusan Muswilub.

 

Padahal, legal opinion secara definisi hanyalah pendapat hukum yang bersifat non-mengikat dan tidak memiliki kekuatan eksekusi. Maka, menjadikan opini hukum tersebut sebagai dasar pembatalan Muswilub adalah kekeliruan fatal secara prinsipil.

 

Menabrak Prinsip Audi Et Alteram Partem

 

Dalam hukum modern, termasuk dalam etika kelembagaan partai, berlaku asas “audi et alteram partem” — yakni prinsip bahwa kedua pihak dalam sengketa harus diberi kesempatan untuk didengar. Ini adalah prinsip paling mendasar dalam proses peradilan yang adil dan berimbang.

 

Dengan menghindari proses persidangan, Mahkamah Partai telah mengingkari prinsip ini. Mereka menutup ruang pembelaan bagi pihak yang menyelenggarakan Muswilub, dan sebaliknya memberikan kemenangan sepihak tanpa uji bukti. Ini merupakan preseden buruk bagi demokrasi internal partai.

 

Menyesatkan dan Merusak Kredibilitas Lembaga

 

Penggunaan legal opinion untuk membatalkan forum tertinggi wilayah seperti Muswilub bukan saja melanggar prosedur hukum, tetapi juga menyesatkan pemahaman publik dan kader. Tindakan ini berpotensi menciptakan ilusi seolah-olah keputusan telah sah, padahal justru sebaliknya: cacat formil dan materil.

 

Lebih jauh lagi, praktik ini juga meruntuhkan legitimasi Mahkamah Partai sebagai penjaga keadilan internal. Bila Mahkamah Partai berubah fungsi menjadi lembaga politis yang mengeluarkan keputusan berdasarkan tekanan elite tertentu, maka hancurlah kepercayaan kader terhadap struktur hukum internal partai.

 

Kembali ke Rel Demokrasi dan Keadilan

 

PPP sebagai partai warisan ulama dan tokoh bangsa tidak boleh membiarkan lembaga yudikatif internalnya menjadi alat politik kekuasaan semata. Keputusan Mahkamah Partai harus diambil melalui proses hukum yang benar — dengan sidang terbuka, pemeriksaan bukti, dan putusan final berdasarkan fakta.

 

Jika langkah pembatalan Muswilub ini tetap dipaksakan tanpa proses hukum yang sah, maka terbuka ruang gugatan ke Pengadilan Negeri, atau bahkan ke Mahkamah Agung melalui mekanisme judicial review terhadap tindakan internal yang melanggar hukum dan AD/ART partai.

 

 

Keadilan tidak boleh ditukar dengan kenyamanan politik sesaat. Mahkamah Partai wajib kembali ke marwahnya sebagai lembaga penegak keadilan internal yang taat hukum, bukan pembuat opini semu. Karena bila hukum dikalahkan oleh opini, maka hancurlah pilar demokrasi dalam tubuh partai.

 

 

 

Oleh: Rahmat Hidayat: (Kader PPP / Pemerhati Hukum Partai Politik)

Previous articleBabinsa Koramil 02/Tanah Merah Pererat Silaturahmi Lewat Komsos Bersama Warga di Desa Pengalihan
Next articleTempat Camping Terbaik di Sumatera: Menyatu dengan Alam di Pulau Andalas