Indragiri Hilir, — Kasus pengelolaan lahan perkebunan sawit seluas 265 hektar di Desa Benteng Barat, Kecamatan Sungai Batang, Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), kembali menjadi sorotan. Lahan yang sebelumnya disegel oleh Satuan Tugas Penyelamatan Kawasan Hutan (Satgas PKH) karena berada di kawasan hutan dan dikuasai secara ilegal oleh PT Bumi Palma Lestari Persada (BPLP), kini menuai kontroversi baru menyusul dugaan pengelolaan kembali oleh pihak perusahaan melalui cara-cara yang tidak transparan.

 

Setelah disegel dan diserahkan ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor pangan, Agrinas, lahan tersebut awalnya diharapkan menjadi berkah bagi masyarakat setempat yang selama ini hidup di tengah keterbatasan ekonomi. Dalam semangat pemulihan dan pemerataan, Agrinas sempat menggandeng Koperasi Produsen Karya Subur, yang diketuai oleh tokoh lokal Andi Hamzah, melalui skema Kerja Sama Operasional (KSO).

 

Skema ini diyakini sebagai bentuk nyata implementasi keadilan agraria di mana masyarakat lokal tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga aktor utama dalam mengelola sumber daya alam secara legal, produktif, dan berkelanjutan. Namun, kenyataan di lapangan tidak semanis rencana awal.

 

Beberapa bulan setelah berjalan, KSO tersebut mendadak dihentikan secara sepihak oleh Agrinas. Hingga kini, tidak ada penjelasan resmi kepada masyarakat terkait alasan dihentikan. Lebih mengejutkan lagi, masyarakat menemukan bahwa lahan tersebut kini masih dikelola secara penuh oleh perusahaan, tanpa melibatkan koperasi atau warga sekitar.

 

“Ini penghinaan terhadap masyarakat lokal. Kami diajak bekerja sama hanya untuk dijadikan tameng legalitas sementara, lalu ditendang keluar setelah perusahaan kembali masuk,” ujar Andi Hamzah dengan nada kecewa, Sabtu (6/9/2025).

 

Masyarakat menduga keras bahwa ada permainan gelap antara oknum Agrinas dengan pihak perusahaan yang sebelumnya telah disegel. Dugaan ini diperkuat oleh fakta bahwa pengelolaan lahan saat ini tidak lagi melibatkan unsur koperasi maupun warga tempatan.

 

“Ada aroma tak sedap dalam proses ini. Kami khawatir lahan yang seharusnya menjadi milik negara untuk kepentingan rakyat, justru dikembalikan secara diam-diam ke tangan pihak yang dulu merampasnya,” ujar salah satu tokoh masyarakat Benteng Barat yang enggan disebutkan namanya.

 

Warga menyebut tindakan ini sebagai bentuk nyata dari mafia agraria, yang justru menyusup ke dalam institusi negara dan mempermainkan kebijakan penyelamatan lahan.

 

Langkah Agrinas yang diduga memberikan ruang kembali kepada perusahaan perambah hutan ini dianggap bertentangan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto, yang sebelumnya secara tegas meminta agar lahan-lahan yang telah disita negara tidak diberikan kembali kepada pihak-pihak pelanggar hukum.

 

“Kebijakan ‘jangan berikan kepada perambah hutan’ seharusnya menjadi prinsip mutlak. Kalau ternyata lahan ini diberikan kembali ke pihak yang dulu merampoknya, itu sama saja negara kalah melawan mafia,” tegas Andi Hamzah.

 

Kasus ini menjadi cerminan buruk bagaimana lemahnya tata kelola lahan sitaan negara. Di atas kertas, negara sudah menyelamatkan kawasan hutan dan mengambil alih lahan ilegal. Namun dalam praktiknya, lahan justru dikuasai kembali oleh korporasi melalui jalur-jalur yang diduga sarat kepentingan.

 

Padahal, menurut banyak pihak, lahan sitaan semestinya dikelola untuk mendorong kemandirian pangan, memperkuat ekonomi desa, dan mendukung reforma agraria sejati. Bukan malah menjadi ajang rebutan oleh elite berkepentingan.

 

Masyarakat kini mendesak pemerintah pusat, khususnya Kementerian BUMN, Kementerian LHK, dan Kementerian ATR/BPN, untuk melakukan audit menyeluruh terhadap kebijakan Agrinas dalam mengelola lahan tersebut.

 

“Kami minta Presiden turun tangan langsung. Jangan biarkan semangat reforma agraria dan penyelamatan hutan dihancurkan oleh segelintir oknum yang bermain di balik layar,” seru warga dalam sebuah aksi protes.

 

 

 

Previous articleSekolah di Inhil Rusak Parah, Ketua IWO Riau Desak PT Pulau Sambu Tanggung Jawab Lewat CSR