Kantor Bupati Natuna

Natuna, Kundurnews.co.id – Dugaan praktik gratifikasi mulai mencuat di tubuh Pemerintah Kabupaten Natuna. Sorotan publik kini tertuju pada Bupati Cen Sui Lan, setelah munculnya temuan mencurigakan terkait pengecatan gedung daerah, renovasi ruang kerja pimpinan daerah dan pengadaan sejumlah perabotan mewah di gedung daerah yang diduga kuat tidak melalui prosedur hukum dan administrasi resmi.

Investigasi media mengungkap tidak ditemukannya kontrak resmi antara Pemkab Natuna dan pihak ketiga terkait proyek renovasi gedung daerah, khususnya di ruang kerja Bupati dan Wakil Bupati. Meski demikian, kegiatan tersebut tetap berjalan dengan menggunakan jasa tukang lokal, yang disebut-sebut diinstruksikan langsung oleh seorang pengusaha asal Kota Ranai.

Jika benar perabotan dan proyek renovasi tersebut merupakan pemberian dari pihak luar, maka terdapat indikasi kuat bahwa Bupati Cen Sui Lan telah menerima gratifikasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 12C UU Tipikor juga menegaskan bahwa penerima gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) paling lambat 30 hari kerja sejak gratifikasi diterima.

Lebih mengkhawatirkan, pengiriman sejumlah furnitur mewah menggunakan kapal Bahtera Nusantara pada 6 Maret 2025 tersebut memperkuat kecurigaan publik. Pasalnya, Kepala Bagian Umum dan Sekretaris Daerah mengaku tidak mengetahui dari mana barang-barang tersebut berasal. Fakta ini seolah memperkuat adanya gratifikasi yang membayangi nama Bupati Cen Sui Lan. Namun, hingga berita ini dimuat, tidak satu pun laporan gratifikasi dari Bupati Cen Sui Lan yang tercatat di KPK.

Sementara Praktisi hukum Jirin saat dikonfirmasi pada 2 Juli 2025 menyampaikan bahwa gratifikasi bukan sekadar pemberian, tapi soal motif di baliknya. “Jika perabot atau renovasi itu diberikan karena jabatan dan tidak dilaporkan, maka patut diduga sebagai bentuk suap. Semua pemberian kepada pejabat publik wajib dicurigai apabila tidak disertai transparansi,” ujarnya tegas.

Ia juga mengingatkan bahwa penerimaan fasilitas tanpa kejelasan sumber dana adalah cermin dari rusaknya integritas dalam pemerintahan. “Ini bukan hanya soal meja dan kursi mahal. Ini soal pelanggaran terhadap nilai-nilai etika dan hukum,” tambahnya.

Kasus ini bukan hanya ujian bagi Bupati Natuna, tetapi juga bagi KPK, Inspektorat Daerah, dan aparat penegak hukum yang dituntut untuk bertindak tegas. Jika pembiaran terus terjadi, maka publik akan semakin yakin bahwa jaringan kekuasaan telah diselimuti tirai gelap korupsi terselubung.

Hingga saat ini, Pemkab Natuna belum mengeluarkan pernyataan resmi. Namun, masyarakat berhak tahu apakah ruang kerja Bupati dibangun dengan uang rakyat atau dengan uang yang tak jelas asal-usulnya? Media ini akan terus mengikuti perkembangan ini dan membuka ruang klarifikasi bagi pihak-pihak terkait. Karena dalam pemerintahan, transparansi bukan pilihan tapi kewajiban.*(Mon)

Previous articleBunda PAUD Inhil Buka Penyuluhan Kekerasan Terhadap Perempuan di Lapas Tembilahan